Kalimat Laailahaillallah merupakan tapak asas dalam ajaran Islam. Jika persoalan ini selesai, maka persoalan orang lain akan selesai pula. Kita perkatakan apakah kehendak kalimah ini.
Ucapan Laailahaillallah kalau dilihat di dalam kitab-kitab utama ada menamakan Kalimah Syahadah, Kalimah Tauhid, Kalimah Toyibah ataupun Zikir Utama.
Sebab dipanggil kalimat Laailahaillallah itu karena :
1. Merupakan Kalimah Syahadah atau kalimah peryaksian, yaitu siapa yang mengucapkan Laailahaillallah dia telah mengumumkan dirinya pada orang banyak bahwa dia orang muslim atau Islam.
2. Merupakan Kalimah Tauhid karena dalam kalimah itulah dibahas tentang Ke Esaan Zat Allah SWT.
3. Merupakan Zikir Utama karena dalam ajaran Islam itu ada bentuk zikir yang paling utama ialah kalimah Laailahaillallah. Barangsiapa yang mau masuk Islam harus menempuh pintu gerbangnya dahulu yaitu Laailahaillallah dan tidak sah dengan zikir atau lain-lain perbuatan.
4. Mengucapkan Kalimah Toyibah, kalimah yang baik karena kalau seseorang itu benar-benar mengucapnya dari hati, hati itu teguh dan dapat mencetuskan segala kebaikan kepada Allah SWT. Hati itu akan mendorong seseorang melakukan kebaikan.
Di dalam Al Quran Allah telah bandingkan kalimah Toyyibah ini dengan sebatang pohon yang akar tunjangnya kukuh di bumi membuat pohon itu teguh / kokoh. Ini sebagai isyarat dari Allah terhadap orang yang kuat imannya. Begitulah jika seseorang itu kuat imannya, bila datang ujian sebesar manapun baik ujian itu berbentuk nikmat atau penderitaan, orang begini bila diuji makin bertambah imannya. Diuji dengan nikmat, dia bersyukur kepada Allah. Bila diuji dengan penderitaan dia sabar dan redha. Itulah hasil dari kalimah Laailahaillallah, lahir dari hati seseorang.
Bagaimana dengan hati orang yang tidak dapat merasakan kalimah ini dari hati. Bila diuji dia akan tidak sabar. Kadang-kadang dapat durhaka dengan Allah dan menzalimi orang lain.
Jadi, sebatang pohon yang diibaratkan oleh Allah dengan akar tunjan yang kukuh bahkan batangnya kuat. Begitu juga dengan dahan-dahan, ranting-ranting, daun dan bunga, serta buahnya hingga menawan hati orang lain. Orang akan berteduh di bawahnya dan dapat makan buahnya pula. Ini artinya orang yang mengucap Laailahaillallah itu dari hati, dan jiwa yang sadar dan takut itu hingga dapat membangunkan segala kebaikan. Kebaikan yang dibuat bukan saja dapat manfaat bahkan orang lain juga dapat ikut merasakan. Itulah jalan yang sebaik-baiknya, seperti hadits Rasulullah SAW yang artinya :
"Sebaik-baik manusia itu dapat memberi manfaat kepada manusia lain"
Orang yang mengucapkan kalimah Laailahaillallah itu tidak lahir dari hatinya, maka dia tidak akan mampu mencetuskan kebaikan, bahkan orang lain tidak akan dapat manfaat darinya.
Sebenarnya tuntutan kalimah ini begitu banyak, sebanyak yang diminta oleh ajaran Islam. Sebanyak yang diminta oleh Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Diantaranya :
1. Siapa saja yang mengucapkan dua kalimah Laailahaillallah dari hatinya dia akan dapat membangunkan Al Quran dan Sunnah dari dalam dirinya, keluarganya, masyarakat, negara, dan alam sejagad.
Dalam satu sejarah pernah terjadi, Rasulullah SAW bersabda yang artinya "
"Barangsiapa yang berkata Laailahaillallah akan masuk Syurga"
Mendengar hadits itu Para Sahabat langsung sampaikan kepada Sahabat-Sahabat yang lain. Mereka tidak menunda-nunda untuk menyampaikannya karena mereka teringat hadits Rasulullah yang artinya :
"Sampaikan dariKu walau satu ayat"
Seorang Sahabat bila bertemu dengan Sayidina Umar dia langsung sampaikan hadits ini. Tiba-tiba dia kena tampar oleh Sayidinna Umar. Sahabat tadi agak terperanjat. Setelah mereka berfikir, siapa yang benar, siapa yang salah, akhirnya mereka berjumpa Rasulullah. Kata Rasulullah kedua-dua Sahabat ini betul. Apa buktinya ? Sahabat tadi sampai dia yakin dengan apa yang dikatakan Rasulullah itu benar. Pada Sayidina Umar pula, dia takut Sahabat tadi sampaikan hadits inni pada orang yang jahil, tidak paham tuntutan kalimah itu yang menyebabkan dia tidak buat amal lagi. Sedangkan yang lain asyik dengan zikir Laailahaillallah saja. Sebab itu awal-awal lagi Sayidina Umar tampar Sahabat tadi.
2. Tiada Tuhan yang disembah selain Allah.
Seluruh sikap dan perbuatannya hendak dijadikan ibadah dan dipersembahkan kepada Allah atau dengan kata lain hamba kepada Allah. Bukan saja pada ibadah-ibadah asas, tetapi juga pada ibadah-ibadah sunnat, sunnat muakad, sunat ghairu muakkad dan fadhoilul a'mal atau amalan utama. Bahkan perkara harus juga hendak dijadikan sebagai ibadah kepada Allah.
Hal ini tidak akan menjadi ibadah kalau tidak menempuh 5 syarat :
* Niat harus betul
* Pekerjaan yang dilakukan sah menurut syariat
* Pelaksanaan harus betul
* Hasilnya disalurkan ke tempat yang benar
* Jangan meninggalkan perkara yang asas
3. Tiada yang ditakutkan melainkan Allah.
Siapa yang mengucapkannya tiada lain yang dia takut melainkan Allah. Menurut keyakinan orang mukmin, yang memberi bekas adalah Allah. selainNya tidak, walau sebesar mapa sekalipun kuasanya. Firman Allah SWT yang artinya :
surat:5 ayat:54 "Jangan kamu takut cercaan orang yang mencerca"
[Q.S. Al Maidah : 54]
Benarkah kita meletakkan Allah yang kita takut, selainNya tidak ? Kalau kita nilai sikap kita ini, banyak yang kita takut selain dari Allah. Contoh, kalau kita sedang bekerja, tiba-tiba datang dua perintah : perintah tuan dan perintah Tuhan ; Bila masuk waktu shalat, manakah yang hendak kita dahulukan, selesaikan kerja atau shalat ???
4. Tiada yang dicinta melainkan Allah.
Sabda Rasulullah SAW yang artinya :
"Tidak beriman seorang kamu sehingga dia menjadikan Allah dan RasulNya paling dicintai dibandingkan selain daripadanya"
Jadi, Allah dan Rasul saja yang dia cinta. Kalaupun dia cinta keluarga, anak, isteri, harta dan sebagainya tidak sampai mengatasi cintanya kepada Allah dan Rasul. Sejauh manakah cinta kita kepada Allah selama ini ? Bagaimana kalau tengah kita tidur di waktu malam, tiba-tiba ayam yang kita sayang dicuri orang ? Berbanding dengan sengaja hendak bangun tahajud di tengah malam karena tanda cinta kita kepada Allah.
5. Tiada yang dia redho melainkan Allah. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
"Aku redho Allah sebagai Tuhan"
Allah saja yang dia redho sebagai Tuhan.
Apa tanda kita redho Allah sebagai Tuhan ? Kalau sekedar mengaku di mulut saja kita ini redha Allah sebagai Tuhan yang menjadikan langit dan bumi. Orang kafir pun mengaku juga Allah sebagai Tuhan, tetapi mereka tidak redho Allah itu sebagai Tuhan. Firman Allah SWT yang artinya :
"Sesungguhnya jika kamu (Muhammad) tanya kepada orang kafir itu, siapa yang menjadikan langit dan bumi, niscaya mereka menjawab "Allah"".
Orang yang redho dengan Allah, walau apa Allah buat padanya, dia tetap mengaku Allah itu sebagai Tuhan walau apa yang dihajatinya tidak dapat.
6. Tiada tempat yang dia tawakal kecuali Allah. Allah lah tenpat dia menyerah diri, sesuai dengan ucapat Rasulullah SAW yang artinya :
"Kepada Engkau kami bertawakal"
Tawakal itu ada 4 [Penjelasan Tawakal]:
1. Tawakal pada diri
2. Tawakal pada harta
3. Tawakal pada orang
4. Tawakal pada Allah
7. Tidak ada hukuman kecuali Allah. Tidak ada undang-undang kecuali undang-undang Allah. Dia akan terima hukuman, undang-undang dari Allah saja untuk dirinya, keluarga, masyarakat, negara dan alam sejagad. Jadi siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum dari Allah, baik dirinya, keluarganya, masyarakatnya, ekonomi, negara dan alam sejagad dan lain-lain. Coba kita lihat firman Allah yang artinya :
surat:5 ayat:44 "Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka dia akan jatuh kafir".
[ Q.S. Al Maidah : 44 ]
Firman Allah yang lain :
surat:5 ayat:45 "Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah dia akan jatuh zalim".
[ Q.S. Al Maidah : 45 ]
Firman Allah yang lain :
surat:5 ayat:47 "Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah dia akan jatuh fasik".
[ Q.S. Al Maidah : 47 ]
Itu merupakan sebagian kecil saja tuntutan kalimah syahadah. Sebenarnya ada banyak, sebanyak yang diminta ajaran Islam.
Jadi barangsiapa yang mengucapkan Laailahaillallah, jika kita melaksanakan tuntutannya berarti kita telah melakukan "Amru bil Ma'ruf wanahyu Anil Munkar", mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari yang mungkar. Berjuang dan berjihad menegakkan Al Quran dan Sunnah dalam diri, keluarga, masyarakat, seterusnya negara dan alam sejagad.
Nisin Haq
Jihad Menegakkan Tauhid & Membela Sunnah
Sabtu, 18 Juni 2011
Jumat, 01 Oktober 2010
Bung Tomo : Arsitek Pasukan Bom Syahid
Jenderal Soedirman : Panglima Shalih dari Karang Nongko
Bakat dan jiwa perjuangannya mulai terlihat sejak dari kepanduan Hizbul Wathon ini, juga peningkatan kemampuan fisik dan penggemblengan mental. Bakat kemiliterannya ditempa melalui organisasi berbasis dakwah. Bahkan semangatnya berjihad telah mengantarkan Soedirman menjadi orang nomor satu dalam sejarah militer Indonesia. Sebagai kader Muhammdiyah, Panglima Soedirman dikenal sebagai santri atau jamaah yang cukup aktif dalam pengajian “malam selasa”, yakni pengajian yang diselenggarakan oleh PP Muhammadiyah di Kauman berdekatan dengan Masjid Besar Yogyakarta. Seorang Panglima yang istimewa, dengan kekuatan iman dan keislaman yang melekat kuat dalam dadanya. Sangat meneladani kehidupan Rasulullah, yang mengajarkan kesederhaan dan kebersahajaan. Sehingga perlakuan khusus dari jamaah pengajian yang rutin diikutinya, dianggap terlalu berlebihan dan ditolaknya dengan halus. Seorang jenderal yang shalih, senantiasa memanfaatkan momentum perjuangan dalam rangka menegakkan kemerdekaan sebagai bagian dari wujud pelaksanaan jihad fi sabilillah. Dan ini ia tanamkan kepada para anak buahnya, bahwa mereka yang gugur dalam perang ini tidaklah mati sia-sia, melainkan gugur sebagai syuhada. Untuk menyebarluaskan semangat perjuangan jihad tersebut, baik di kalangan tentara atau pun seluruh rakyat Indonesia, Jenderal besar ini menyebarkan pamflet atau selebaran yang berisikan seruan kepada seluruh rakyat dan tentara untuk terus berjuang melawan Belanda dengan mengutip salah satu hadits Nabi. “Insjafilah! Barangsiapa mati, padahal (sewaktoe hidoepnja) beloem pernah toeroet berperang (membela keadilan) bahkan hatinya berhasrat perang poen tidak, maka matilah ia diatas tjabang kemoenafekan.” Perang gerilya yang dilakukan, tak luput dari mencontoh apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Sewaktu berada di desa Karangnongko, setelah sebelumnya menetap di desa Sukarame, Panglima Besar Soedirman yang memiliki naluri seorang pejuang, menganggap desa tersebut tidak aman bagi keselamatan pasukannya. Maka beliau pun mengambil keputusan untuk meninggalkan desa dengan taktik penyamaran, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah besarta para sahabatnya saat akan berhijrah. Setelah shalat subuh, Pak Dirman yang memiliki nama samaran Pak De dengan beberapa pengawal pergi menuju hutan. Mantel yang biasa dipakai olehnya ditinggal dalam rumah di desa itu, termasuk beberapa anggota rombongan yang terdiri dari Suparjo Rustam dan Heru Kesser. Pagi harinya Heru Kesser segera mengenakan mantel tersebut dan bersama Suparjo Rustam berjalan menuju arah selatan, sampai pada sebuah rumah barulah mantel tersebut dilepas dan mereka berdua bersama beberapa orang secara hati-hati pergi menyusul Soedirman. Dan sore harinya pasukan Belanda dengan pesawat pemburunya memborbardir rumah yang sempat disinggahi Heru Kesser dan Suparjo Rustam, dan ini membuktikan betapa seorang Panglima sekaligus dai ini begitu menguasai taktik dan sejarah perjuangan dalam Islam. Sebuah perjuangan yang penuh dengan kateladanan, baik untuk menjadi pelajaran dan contoh bagi kita semua, anak bangsa. Perjalanan panjang seorang dai pejuang yang tidak lagi memikirkan tentang dirinya melainkan berbuat dan berkata hanya untuk rakyat serta bangsa tercinta. Penyakit TBC yang diderita, tidak menyurutkan langkah perjuangannya. Sampai akhir usianya, 38 tahun, Panglima Besar Jenderal Soedirman yang dicintai rakyat menutup hidupnya tanggal 29 Januari 1950, tepat hari Ahad. Bangsa ini mencatat satu lagi pejuang umat, yang lahir dari umat dan selalu berjalan seiring untuk kepentingan umat. |
Jejak Emas Para Ulama : Rahim yang Melahirkan TNI
Surat di atas dikirim Soekarno kepada A. Hassan tertanggal 14 Desember 1936, dari Endeh. Soekarno bisa jadi benar. Tapi bisa jadi pula, ia salah besar. Sebab, menurut banyak catatan, ulama-ulama Indonesia, bahkan generasi awal-awal dakwah di Indonesia, punya keilmuan yang tinggi dan kemampuan menulis yang luar biasa. Namun ada proses lain, yakni deislamisasi yang dilakukan oleh para penjajah, baik Portugis, Inggris, dan juga Belanda. Menurut Abdullah bin Abdul Kadir al Munsyi dalam hikayatnya tentang Kerajaan Malaka yang ditulis pada abad ke-13 hijriah, ada aksi pemberangusan yang dilakukan oleh Belanda. Dalam hikayat tersebut dijelaskan, Belanda mengumpulkan buku-buku dan hikayat yang dihasilkan oleh komunitas Muslim dari berbagai wilayah Melayu. Daerah-daerah mulai dari Riau, Langka, Pahang Trengganu dan Kelantan dijarah kekayaan intelektualnya. Tak kurang dari 70 jilid hikayat dan karya para ulama dirampas penjajah. Entah berapa banyak lagi yang telah dirampas dari wilayah Sumatera, Jawa dan juga dari kepulauan Maluku. Abdullah Munsyi juga menyebutkan, Stamford Raffles setidaknya turut mengumpulkan 300 judul hikayat yang ditulis oleh para ulama zaman itu. Penjajah dari Spanyol dan Portugis bahkan jelas-jelas telah membakar karya-karya klasik para intelektual Islam. Pembakaran tersebut menurut Munsyi dilakukan atas perintah Kardinal Gemenis. Tentang pernyataannya itu, Soekarno sebenarnya perlu dikoreksi. Ulama-ulama awal Nusantara, adalah orang-orang yang luar biasa. Mereka mempunyai kemampuan dan jaringan yang menakjubkan untuk zaman itu. Salah satu bukti yang menyatakan bahwa ulama silam punya kemampuan yang maksimal dalam penulisan sejarah ditunjukkan oleh tiga serangkai ulama yang cukup terkenal di masanya. Mereka adalah Nuruddin Ar Raniry, Al Singkili dan Al Maqasari yang hidup dan berkiprah pada abad-17. Nuruddin Ar Raniry, yang kini namanya diabadikan sebagai nama IAIN di Nanggroe Aceh Darussalam menulis dengan luar biasa sejarah perkembangan Islam Nusantara dalam risalah kuno berjudul Bustan as Salathin. Dalam Bustan as Salathin bisa ditemui kisah-kisah “sedjarah” yang dimaksud Soekarno. Ar Raniry menuliskan tentang hubungan diplomatik antara kerajaan Islam di Aceh dengan Khalifah Utsmani di Turki. Ar Raniry mengisahkan, pada tahun 1562 di bulan Juni, seorang duta dari Aceh terlihat berada di Istanbul untuk meminta bantuan militer Utsmani guna menghadapi serangan Portugis di Nusantara. Duta ini, menurut Ar Raniry, adalah sebagian kecil dari duta yang dikirim. Di tengah perjalanan, mereka diserang oleh Portugis di tengah Samudera. Isi kapal yang penuh dengan barang berharga seperti emas, permata dan rempah-rempah dijarah oleh Portugis. Sedianya, barang-barang tersebut adalah persembahan untuk Khalifah Utsmani. Sepulang dari Istanbul, dikabarkan, sang duta membawa pula bantuan militer yang akhirnya membantu Aceh mengusir Portugis. Duta itu pula yang membawa izin, bahwa kapal-kapal Aceh boleh mengibarkan bendera Turki di perairan sebagai jaminan keselamatan. Selain menulis Bustan as Salathin, Ar Raniry juga menulis karya-karya lain yang monumental. Ada pula Ash Shirathal Mustaqim yang juga kitab fiqh. Ar Raniry menulis tidak kurang dari 29 karya terdiri dari ilmu kalam, fiqh, hadits, sejarah bahkan sampai ilmu perbandingan agama, yang memang tampak menjadi minat terbesari Ar Raniry. Al Singkili bahkan pernah menulis karya berjudul Mir’at at Thullab yang membahas masalah-masalah fiqh dan hukum. Di dalam karya ini dibahas tentang syarat-syarat dan aturan menjadi hakim dan penegakan hukum Islam. Al Singkili juga menulis tentang fiqh muamalat dan menulis tafsir al Qur’an dengan judul Tarjuman al Mustafid yang terbit untuk pertama kali justru di Timur Tengah dan bukan di Indonesia. Sedangkan Al Maqasari yang mempunyai nama lengkah Syekh Yusuf al Maqasari punya kiprah tak kalah luar biasa. Ia pernah berkeliling ke banyak tempat di Nusantara, termasuk singgah di daerah Banten dan menetap di rumah sesepuh Ustadz Abu Ridha atau Abdi Sumaithi yang kini duduk sebagai salah satu anggota Majelis Pertimbangan Partai Keadilan Sejahtera. Di Banten, Al Maqasari mengajarkan agama lalu melanjutkan perjalanan ke Timur Tengah, sebelum mengakhiri usia di Cape Town, Afrika. Ulama-ulama seperti Ar Raniry, Al Singkili dan Al Maqasari adalah para ulama awal Nusantara yang membawa pembaruan dan mengajarkan syariat Islam di mana saja mereka berada. Hubungan diplomatik yang terbangun, sebenarnya adalah bentuk hubungan yang lebih muda dibanding hubungan sebelumnya. Sebelum hubungan ini terbentuk, ada hubungan awal yang lebih menentukan, yakni pengiriman dan pertukaran ulama-ulama. Ulama-ulama Timur Tengah dikirim ke Indonesia untuk memberikan dakwah, dan ulama-ulama Indonesia berangkat ke Makkah, Madinah dan beberapa kota ilmu lain untuk memperluas dan memperdalam ilmu agama. Meski hubungan ini sudah terjadi sejak lama, namun pada generasi setelah Ar Raniry, jaringan ulama Indonesia dan Timur Tengah menemui puncaknya. Beberapa ulama yang sangat terkenal pada generasi ini di antaranya adalah, Syekh Abdus Shamad al Falimbani dari Palembang, Syekh Muhammad Arsyad al Banjari dari Kalimantan, Syekh Rahman al Batawi dari Betawi, dan Syekh Dawud al Fatani dari Patani, Thailand Selatan. Beberapa ulama yang disebutkan di atas mempunyai jaringan yang kuat. Mereka pernah belajar pada saat yang bersamaan di beberapa kota di Timur Tengah, terutama Makkah dan Madinah. Ulama-ulama ini mempelajari banyak ilmu, mulai dari akidah, akhlak, fiqh, sejarah Islam, matematika hingga ilmu falakh atau astronomi. Terbetik kisah, suatu ketika, Al Palimbani, Al Banjari, Al Batawi dan Al Bugisi dikabarkan meminta izin pada guru mereka di Makkah, Athallah al Mashri, untuk menimba ilmu ke negeri Nabi Musa, Mesir. Namun sang guru memberi nasihat lain. Mengejar ilmu memang sangatlah penting, tapi mengajarkan ilmu adalah hal yang juga tak bisa ditinggalkan. Lalu sang guru, Athallah al Mashri, meminta mereka untuk kembali ke tanah air dan mengajarkan Islam serta berdakwah di tempat masing-masing. Namun mereka tetap berkunjung ke Kairo. Tidak untuk belajar memang, hanya berziarah ke negeri dengan peradaban tinggi ini. Setelah ziarah ke Kairo, kecuali Al Falimbani, ulama-ulama lain pulang kembali ke tanah air dan melanjutkan dakwah di tempat masing-masing. Sebelum mereka menuju perjalanan masing-masing, Arsyad al Banjari dan Wahab al Bugisi sempat singgah di Betawi untuk mengantarkan Rahman al Batawi pada tahun 1773 masehi atau 1186 hijriah. Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara menuturkan, dalam persinggahan tersebut, Al Banjari yang memang ahli dalam bidang astronomi dan matematika sempat meluruskan arah kiblat masjid-masjid yang terletak di dua daerah, Pekojan dan Jembatan Lima. Setelah itu, para ulama ini berkiprah di daerah masing-masing. Kiprah paling menonjol tercatat dijalani oleh Muhammad Arsyad al Banjari yang langsung menduduki mufti Kerajaan Banjar saat sampai di wilayahnya. Sekembalinya Muhammad Arsyad ke Martapura, ia mendirikan pusat pendidikan Islam semacam pesantren di Jawa atau di Kalimantan. Lewat peran Muhammad Arsyad pula, Kesultanan Banjar mendirikan pengadilam hukum Islam yang pertama di Kalimantan. Muhammad Arsyad berusaha keras menerapkan dan menegakkan hukum dan syariat Islam di wilayahnya. Hal lain yang sangat luar biasa adalah, pada zaman itu, Muhammad Arsyad telah membicarakan penerapan zakat sebagai ganti peraturan pajak yang ditetapkan oleh Sultan Banjar. Kisah-kisah di atas, hanya sebagian kecil saja dari ribuan kisah lain tentang peran ulama Indonesia. Sungguh, Muslim Indonesia mempunyai sejarah yang sangat dahsyat dan luar biasa. Kita juga punya dasar dan pijakan yang sangat kuat untuk mengusung kembali pusaka yang telah hilang. Pusaka itu, tak lain dan tak bukan adalah hukum dan syariat Islam. Pondasi telah dibangun, tapi untuk beberapa lama kita lalai menjaga. Maka kini saatnya untuk memulai lagi dan membangun masa depan yang cerah, agar kerja para ulama terdahulu tak sia-sia. |
Organisasi Islam
Kamis, 30 September 2010
Hutang Bangsa Pada Pesantren
Oleh Hamid Fahmy Zarkasyi
Pada periode awal pembangunan negara ini telah terjadi perdebatan sengit antara Dr.Sutomo dengan S.T.Alisyahbana tentang arah pembangunan negara Republik Indonesia. Bagi yang pertama negara ini hanya dapat dibangun berdasarkan khazanah budaya bangsa ini, sedang bagi yang kedua negara ini dapat maju hanya dengan meniru sepenuhnya budaya Barat. Yang pertama membanggakan pendidikan pesantren yang kedua mengagungkan pendidikan sekuler ala Barat, dengan argumentasi masing-masing. Meskipun argumentasi Dr.Sutomo cukup kuat dan rasional, namun pemikiran S.T.Alisyahbana sejatinya mewakili arus pemikiran para pengambil kebijakan kependidikan saat itu. Yang menarik di sini bukan argumentasi mereka masing-masing, tapi implikasi bahwa usaha meletakkan pendidikan pesantren sebagai rival pendidikan sekuler Barat memang telah lama wujud.
Memang pondok atau pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang selalu berhadapan secara vis a vis dengan pendidikan sekuler yang dibawa oleh penjajah. Bukan hanya itu, keberadaannya sejak awal telah menunjukkan anti-penjajah dan mendukung kemerdekaan negara Republik Indonesia. Tak pelak lagi ia kemudian sangat dicurigai penjajah. Anehnya setelah negara Indonesia merdeka, pesantren juga dicurigai anti pemerintah dan menjadi sarang “komando jihad”. Kini pesantren kembali dicurigai sebagai sarang teroris. Apa sebenarnya substansi pendidikan Pesantren? dan bagaimanakah ia memainkan peranannya dalam lintasan sejarah bangsa ini?
Substansi Pesantren
Hakikatnya pendidikan pesantren tidak lepas dari Islam, dan pendidikan pesantren bermula tidak lama setelah Islam masuk ke Indonesia. Alasannya sangat sederhana. Islam, sebagai agama dakwah, disebarkan secara efektif melalui proses transmisi ilmu dari ulama ke masyarakat (tarbiyah wa ta’lim, atau ta’dib). Proses ini di Indonesia berlangsung melalui pesantren. Hal ini dapat dibuktikan di antaranya dari metode pembelajaran di pesantren. Metode sam’ (audit, menyimak), metode syarh (penjelasan ulama) dengan secara halaqah, metode tahfiz (hafalan) dll, yang terdapat terdapat di pesantren berasal dari tradisi intelektual Islam.
Hanya saja istilah yang digunakan untuk sistim ini tidak sepenuhnya merujuk kepada kata bahasa Arab. Sebutan untuk pelajar yang mencari ilmu bukan murid seperti dalam tradisi sufi, atau thalib atau tilmidh seperti dalam bahasa Arab, tapi santri yang berasal dari bahasa sanskrit (san= orang baik; tra= suka menolong). Lembaga tempat belajar itupun kemudian mengikuti akar kata santri dan menjadi pe-santri-an atau “pesantren”. Di Sumatera pesantren di sebut rangkang atau meunasah atau surau. Ini menunjukkan pendekatan dakwah para ulama yang permisif terhadap tradisi lokal. Di Malaysia dan Thailand lembaga ini dikenal dengan nama pondok, merujuk kepada bahasa Arab funduk yang berarti hotel atau penginapan yang maksudnya asrama. Jadi meskipun istilah “pesantren” tidak memiliki akar kata dari tradisi Islam, tapi substansi pendidikannya tetap Islam.
Keberadaan kiai atau ulama sebagai tokoh otoritatif, peserta didik, asrama dan sarana pendidikan, pendidikan agama Islam dan masjid sebagai pusat kegiatan kependidikan adalah unsur-unsur penting pendidikan pesantren yang sejatinya adalah juga unsur pendidikan Islam. Keempat unsur yang melingkupi santri ini dapat dianggap sebagai catur-pusat pendidikan. Ini lebih lengkap dibanding tri-pusat pendidikan (sekolah, masyarakat, keluarga), yang terdapat pada sistem sekolah pada pendidikan umum.
Karakter pendidikan pesantren adalah menyeluruh. Artinya seluruh potensi pikir dan zikir, rasa dan karsa, jiwa dan raga dikembangkan melalui berbagai media pendidikan yang terbentuk dalam suatu komunitas yang sengaja didesain secara integral untuk tujuan pendidikan. Di dalam sistem sekolah pusat-pusat pendidikannya terpisah-pisah dan hampir tidak saling berhubungan. Di dalam kelas atau di masjid para santri diajar ilmu pengetahuan kognitif, dan di luar itu ia memperoleh bimbingan serta menyaksikan suri tauladan dari kiai atau gurunya serta kawan-kawannya. Jadi kehidupan di dalam pondok sudah merupakan pelajaran penting bagi santri seperti yang diajarkan oleh Islam itu sendiri. Doktrin tentang keimanan dalam teks, dilengkapi dengan pelajaran etika, ilmu, kemasyarakatan, pendidikan, dan lain-lain diluar kelas. Pengertian kurikulum bagi pendidikan pesantren tidak terbatas pada pelajaran atau kitab-kitab yang dipakai, tapi keseluruhan kegiatan di dalam asrama atau pondok.
Dengan demikian tujuan pendidikan pesantren seperti halnya tujuan kehidupan manusia didunia ini adalah ibadah, yang spektrumnya seluas pengertian ibadah itu sendiri. Dengan catur-pusat pendidikan pesantren berfungsi sebagai “melting pot”, yaitu tempat untuk mengolah potensi-potensi dalam diri santri agar dapat berproses menjadi manusia seutuhnya (insan kamil). Santri tidak hanya disipakan untuk mengejar kehidupan dunia tapi juga mempersiapkan kehidupan akhirat. Tidak hanya untuk menjadi manusia berguna bagi masyarakatnya, tapi untuk menjadi manusia seutuhnya yang taat kepada Tuhannya. Pengolahan potensi diri ini didukung oleh bangunan spiritual, sistem nilai dan jiwa kedisiplinan yang kuat yang dapat klasifikasikan sedikitnya menjadi lima, yaitu Keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwwah Islamiyah, kemandirian dan kebebasan.
Peran pesantren
Seperti disinggung di atas wujud pesantren hampir bersamaan dengan datangnya umat Islam dinegeri ini. Karenanya peran pesantren dalam membangun negeri ini sebernarnya sama dengan peran Islam itu sendiri. Peran Islam dalam membangunkan dunia Melayu sudah terbukti secara historis. Dalam teori Prof. Naquib al-Attas tentang Islamisasi masyarakat Melayu, Islam datang dengan membawa pandangan hidup baru yang ditandai oleh munculnya semangat rasionalisme dan intelektualisme. Pandangan hidup baru ini kemudian merubah pandangan hidup bangsa Melayu-Indonesia yang sebelumnya dikuasai oleh dunia mitologi yang rapuh. (lihat al-Attas, Preliminary Statement on A general theory of the Malay-indonesian archipelago, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1969).
Menurut Snouck Hurgronje, agama Hindu tidak mempunyai peran dalam pembinaan spiritual masyarakat awam yang kebanyakan dari kasta rendah. Di Sumatera, yang pernah dikenal sebagai pusat berkumpulnya para pemikir Hindu, misalnya, pandangan hidup Hindu hampir tidak berpengaruh terhadap masyarakat waktu itu. Oleh karena itu pada masa kekuasaan kerajaan Hindu banyak anggota masyarakat yang tertarik pada pandangan hidup Islam.
Namun, pandangan hidup Islam tidak serta merta dipahami masyarakat dengan hanya membaca syahadat. Ia memerlukan proses transformasi konsep-konsep ke dalam pikiran masyarakat; dan pemahaman suatu konsep hanya effektif dilakukan melalui proses belajar mengajar. Pesantren dalam hal ini berperan aktif dalam transformasi konsep-konsep penting dalam Islam ke tengah-tengah masyarakat waktu itu. Peran Islam dalam merubah pandangan hidup yang statis kepada yang dinamis, rasional dan teratur inilah yang disebut dengan proses Islamisasi, kebalikan dari “akulturalisasi” (penyesuaian agama dengan kultur setempat).
Jadi Islam masuk ke Indonesia dan disebarkan melalui pendidikan pesantren dalam bentuk pandangan hidup, dan bukan sebagai gerakan politik seperti yang diasumsikan Prof. Sartono Kartodirdjo. Terbukti raja-raja di Jawa dan luar Jawa masuk Islam tanpa proses peperangan. Sebagai pandangan hidup Islam membawa konsep baru tentang Tuhan Yang Maha Esa, tentang manusia, tentang hidup, waktu, dunia dan akherat, bermasyarakat, keadilan, harta dan lain-lain.
Dengan pandangan hidup Islam masyarakat lalu mengembangkan semangat pembebasan dan perlawanan terhadap penjajah. Pemberontakan petani di Banten tahun 1888, atau perang masyarakat Aceh melawan Belanda tahun 1873, misalnya, tidak lepas dari peran kaum santri dan pesantren. Jadi Islam tidak dapat dipahami hanya sebagai gerakan politik, tapi sebagai suatu pandangan hidup yang memberi warna baru terhadap gerakan politik.
Peran pandangan hidup Islam terhadap bangkitnya bangsa Melayu dapat dilihat dari fenomena tersebarnya kultur Islam dan tersebarnya penggunaan bahasa Melayu sebagai alat untuk mengekspresikan karya sastra dan berbagai diskursus pemikiran kegamaan dan filsafat. Dengan merasuknya pandangan hidup Islam kedalam kultur Melayu, maka bahasa Melayu menjadi sangat kaya dengan kosa kata dan terminologi Islam. Ini juga sekaligus merupakan jembatan menuju lahirnya bahasa Melayu sebagai lingua franca.
Selain itu dengan gerakan hijrah ke pelosok-pelosok pedesaan, pesantren mengembangkan masyarakat Muslim yang solid, yang pada gilirannya berperan sebagai kubu pertahanan rakyat dalam melawan penjajah. Peran para kiai dalam melawan penjajah tidak perlu dipertanyakan lagi. Raffles sendiri dalam bukunya The History of Java mengakui bahaya para kiai terhadap kepentingan Belanda. Sebab, menurutnya, banyak sekali kiai yang aktif dalam berbagai pemberontakan.
Bahkan besarnya pengaruh kiai tidak hanya terbatas pada masyarakat awam, tapi juga menjangkau istana-istana. Kiai Hasan Besari, dari pesantren Tegalsari Ponorogo, misalnya berperan besar dalam meleraikan pemberontakan di Keraton Kartasura. Bukan hanya itu, pesantren dulu juga mampu melahirkan pujangga. Raden Ngabehi Ronggowarsito adalah santri Kiai Hasan Besari yang berhasil menjadi Pujangga Jawa terkenal.
Di zaman pergerakan pra-kemerdekaan, peran pesantren juga sangat menonjol, lagi-lagi melalui alumninya. HOS Cokroaminoto pendiri gerakan Syarikat Islam dan guru pertama Soekarno di Surabaya, adalah juga alumni pesantren. KH. Mas Mansur, KH.Hasyim Ash’ari, KH. Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, KH.Kahar Muzakkir, (untuk menyebut beberapa nama) adalah alumni pesantren yang menjadi tokoh masyarakat yang sangat berpengaruh. Di tengah masyarakat mereka adalah guru bangsa, tempat merujuk segala persoalan di masyarakat. Di tengah percaturan politik menjelang kemerdekaan Republik Indonesia peran mereka tidak diragukan lagi.
Ketika Jepang memobilisir tentara PETA (Pembela Tanah Air) guna melawan Belanda, para kiai dan santri mendirikan tentara Hizbullah. Di balik itu dalam pikiran mereka adalah kosep jihad melawan kezaliman, konsep ukhuwwah untuk membela sesama saudara seagama dan konsep kebebasan yang menolak segala bentuk penindasan. Itu semua tidak lepas dari pengaruh pandangan hidup Islam.
Sesudah kemerdekaan, alumni-alumni pesantren terus memainkan perannya dalam mengisi kemerdekaan. Moh. Rasyidi, alumni pondok Jamsaren adalah Menteri Agama RI pertama, Mohammad Natsir alumni pesantren Persis, menjadi Perdana Menteri, KH.Wahid Hasyim, alumni pondok Tebuireng, KH.Kahar Muzakkir dan lain-lain menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan; KH.Muslih Purwokerto dan KH. Imam Zarkasyi alumni Jamsaren menjadi anggota Dewan Perancang Nasional; KH. Idham Khalid menjadi wakil Perdana Menteri dan ketua MPRS. Singkatnya, di awal-awal kemerdekaan RI para kiai dan alumni pesantren berpatisipasi hampir di setiap lini perjuangan bangsa. Perlu dicatat bahwa jabatan-jabatan itu bukan diraih untuk tujuan politik sesaat, tapi untuk sarana membela dan memperjuangkan agama, negara dan bangsa.
Di era Orde Baru di tengah maraknya pembangunan fisik yang disertai dengan proses marginalisasi peran politik ummat Islam, kiai dan pesantren tetap memiliki perannya dalam membangun bangsa. Dampak pembangunan fisik yang tidak berangkat konsep character building adalah dekadensi moral, korupsi, tindak kekerasan dan lain-lain. Akibatnya pendidikan, khususnya sistem sekolah di kota-kota besar tidak lagi menjanjikan kesalehan moral dan sosial anak didik. Dalam kondisi seperti inilah pesantren muncul menjadi sebagai alternatif penting. Dengan jiwa ukhuwwah Islamiyah di pesantren tidak pernah terjadi “tawuran”; dan karena jiwa kemandirian di pesantren tidak sedikit dari santri drop out justru sukses sebagai pengusaha.
Ketika terjadi upaya convergensi ilmu pengetahuan agama dan umum di pesantren, medan distribusi alumni pesantren menjadi semakin luas. Penyeberangan santri ke perguruan tinggi umum menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Para santri ini kemudian mengembangkan kajian-kajian agama secara informal dan intensif yang melibatkan mahasiswa-mahasiswa yang tidak memilik background agama. Kini peran pesantren tidak lagi langsung dimainkan oleh alumninya, tapi oleh murid-murid alumninya. Pergerakan mahasiswa seperti HMI, PMII, IMM yang marak pada dekade 70-an dan 80-an, dan juga gerakan LDK, usrah-usrah dan intensifikasi aktifitas masjid kampus dan lain-lain tidak dapat dipisahkan dari peran dan kontribusi alumni-alumni pesantren.
Kini di zaman reformasi telah muncul sejumlah nama tokoh yang tidak lepas dari peran pendidikan pesantren, baik langsung maupun tidak langsung. Amien Rais, ketua MPR, Abdurrahman Wahid, pendiri PKB, Hidayat Nur Wahid, Presiden PKS, Hasyim Muzadi, Ketua PB NU, Nurcholis Madjid, Rektor Paramadina, adalah beberapa nama tokoh yang tidak lepas dari dunia pesantren. Hal ini tidak saja menunjukkan kualitas pendidikan pesantren dalam mencetak pemimpin dan tokoh-tokoh bangsa tapi membuktikan besarnya kepedulian santri terhadap problematika bangsa ini.
Jika kini beberapa gelintir alumni pesantren dituduh terlibat dalam berbagai aksi yang dianggap ‘terror’, maka sangat absurd jika kemudian peran dan potensi pesantren dalam membangun bangsa ini, baik di masa lalu maupu di masa depan, dinafikan. Semestinya kini tidak perlu lagi mempertanyakan apa peran dan fungsi pesantren dalam membangun negara ini, yang justru perlu dipertanyakan adalah apa yang telah dilakukan pemerintah dalam membangun pesantren dan apa yang belum. Hasil kalkulasi inilah hutang bangsa ini pada pesantren. Wallahu a’lam.
Penulis Peneliti di Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSIST)
Pada periode awal pembangunan negara ini telah terjadi perdebatan sengit antara Dr.Sutomo dengan S.T.Alisyahbana tentang arah pembangunan negara Republik Indonesia. Bagi yang pertama negara ini hanya dapat dibangun berdasarkan khazanah budaya bangsa ini, sedang bagi yang kedua negara ini dapat maju hanya dengan meniru sepenuhnya budaya Barat. Yang pertama membanggakan pendidikan pesantren yang kedua mengagungkan pendidikan sekuler ala Barat, dengan argumentasi masing-masing. Meskipun argumentasi Dr.Sutomo cukup kuat dan rasional, namun pemikiran S.T.Alisyahbana sejatinya mewakili arus pemikiran para pengambil kebijakan kependidikan saat itu. Yang menarik di sini bukan argumentasi mereka masing-masing, tapi implikasi bahwa usaha meletakkan pendidikan pesantren sebagai rival pendidikan sekuler Barat memang telah lama wujud.
Memang pondok atau pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang selalu berhadapan secara vis a vis dengan pendidikan sekuler yang dibawa oleh penjajah. Bukan hanya itu, keberadaannya sejak awal telah menunjukkan anti-penjajah dan mendukung kemerdekaan negara Republik Indonesia. Tak pelak lagi ia kemudian sangat dicurigai penjajah. Anehnya setelah negara Indonesia merdeka, pesantren juga dicurigai anti pemerintah dan menjadi sarang “komando jihad”. Kini pesantren kembali dicurigai sebagai sarang teroris. Apa sebenarnya substansi pendidikan Pesantren? dan bagaimanakah ia memainkan peranannya dalam lintasan sejarah bangsa ini?
Substansi Pesantren
Hakikatnya pendidikan pesantren tidak lepas dari Islam, dan pendidikan pesantren bermula tidak lama setelah Islam masuk ke Indonesia. Alasannya sangat sederhana. Islam, sebagai agama dakwah, disebarkan secara efektif melalui proses transmisi ilmu dari ulama ke masyarakat (tarbiyah wa ta’lim, atau ta’dib). Proses ini di Indonesia berlangsung melalui pesantren. Hal ini dapat dibuktikan di antaranya dari metode pembelajaran di pesantren. Metode sam’ (audit, menyimak), metode syarh (penjelasan ulama) dengan secara halaqah, metode tahfiz (hafalan) dll, yang terdapat terdapat di pesantren berasal dari tradisi intelektual Islam.
Hanya saja istilah yang digunakan untuk sistim ini tidak sepenuhnya merujuk kepada kata bahasa Arab. Sebutan untuk pelajar yang mencari ilmu bukan murid seperti dalam tradisi sufi, atau thalib atau tilmidh seperti dalam bahasa Arab, tapi santri yang berasal dari bahasa sanskrit (san= orang baik; tra= suka menolong). Lembaga tempat belajar itupun kemudian mengikuti akar kata santri dan menjadi pe-santri-an atau “pesantren”. Di Sumatera pesantren di sebut rangkang atau meunasah atau surau. Ini menunjukkan pendekatan dakwah para ulama yang permisif terhadap tradisi lokal. Di Malaysia dan Thailand lembaga ini dikenal dengan nama pondok, merujuk kepada bahasa Arab funduk yang berarti hotel atau penginapan yang maksudnya asrama. Jadi meskipun istilah “pesantren” tidak memiliki akar kata dari tradisi Islam, tapi substansi pendidikannya tetap Islam.
Keberadaan kiai atau ulama sebagai tokoh otoritatif, peserta didik, asrama dan sarana pendidikan, pendidikan agama Islam dan masjid sebagai pusat kegiatan kependidikan adalah unsur-unsur penting pendidikan pesantren yang sejatinya adalah juga unsur pendidikan Islam. Keempat unsur yang melingkupi santri ini dapat dianggap sebagai catur-pusat pendidikan. Ini lebih lengkap dibanding tri-pusat pendidikan (sekolah, masyarakat, keluarga), yang terdapat pada sistem sekolah pada pendidikan umum.
Karakter pendidikan pesantren adalah menyeluruh. Artinya seluruh potensi pikir dan zikir, rasa dan karsa, jiwa dan raga dikembangkan melalui berbagai media pendidikan yang terbentuk dalam suatu komunitas yang sengaja didesain secara integral untuk tujuan pendidikan. Di dalam sistem sekolah pusat-pusat pendidikannya terpisah-pisah dan hampir tidak saling berhubungan. Di dalam kelas atau di masjid para santri diajar ilmu pengetahuan kognitif, dan di luar itu ia memperoleh bimbingan serta menyaksikan suri tauladan dari kiai atau gurunya serta kawan-kawannya. Jadi kehidupan di dalam pondok sudah merupakan pelajaran penting bagi santri seperti yang diajarkan oleh Islam itu sendiri. Doktrin tentang keimanan dalam teks, dilengkapi dengan pelajaran etika, ilmu, kemasyarakatan, pendidikan, dan lain-lain diluar kelas. Pengertian kurikulum bagi pendidikan pesantren tidak terbatas pada pelajaran atau kitab-kitab yang dipakai, tapi keseluruhan kegiatan di dalam asrama atau pondok.
Dengan demikian tujuan pendidikan pesantren seperti halnya tujuan kehidupan manusia didunia ini adalah ibadah, yang spektrumnya seluas pengertian ibadah itu sendiri. Dengan catur-pusat pendidikan pesantren berfungsi sebagai “melting pot”, yaitu tempat untuk mengolah potensi-potensi dalam diri santri agar dapat berproses menjadi manusia seutuhnya (insan kamil). Santri tidak hanya disipakan untuk mengejar kehidupan dunia tapi juga mempersiapkan kehidupan akhirat. Tidak hanya untuk menjadi manusia berguna bagi masyarakatnya, tapi untuk menjadi manusia seutuhnya yang taat kepada Tuhannya. Pengolahan potensi diri ini didukung oleh bangunan spiritual, sistem nilai dan jiwa kedisiplinan yang kuat yang dapat klasifikasikan sedikitnya menjadi lima, yaitu Keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwwah Islamiyah, kemandirian dan kebebasan.
Peran pesantren
Seperti disinggung di atas wujud pesantren hampir bersamaan dengan datangnya umat Islam dinegeri ini. Karenanya peran pesantren dalam membangun negeri ini sebernarnya sama dengan peran Islam itu sendiri. Peran Islam dalam membangunkan dunia Melayu sudah terbukti secara historis. Dalam teori Prof. Naquib al-Attas tentang Islamisasi masyarakat Melayu, Islam datang dengan membawa pandangan hidup baru yang ditandai oleh munculnya semangat rasionalisme dan intelektualisme. Pandangan hidup baru ini kemudian merubah pandangan hidup bangsa Melayu-Indonesia yang sebelumnya dikuasai oleh dunia mitologi yang rapuh. (lihat al-Attas, Preliminary Statement on A general theory of the Malay-indonesian archipelago, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1969).
Menurut Snouck Hurgronje, agama Hindu tidak mempunyai peran dalam pembinaan spiritual masyarakat awam yang kebanyakan dari kasta rendah. Di Sumatera, yang pernah dikenal sebagai pusat berkumpulnya para pemikir Hindu, misalnya, pandangan hidup Hindu hampir tidak berpengaruh terhadap masyarakat waktu itu. Oleh karena itu pada masa kekuasaan kerajaan Hindu banyak anggota masyarakat yang tertarik pada pandangan hidup Islam.
Namun, pandangan hidup Islam tidak serta merta dipahami masyarakat dengan hanya membaca syahadat. Ia memerlukan proses transformasi konsep-konsep ke dalam pikiran masyarakat; dan pemahaman suatu konsep hanya effektif dilakukan melalui proses belajar mengajar. Pesantren dalam hal ini berperan aktif dalam transformasi konsep-konsep penting dalam Islam ke tengah-tengah masyarakat waktu itu. Peran Islam dalam merubah pandangan hidup yang statis kepada yang dinamis, rasional dan teratur inilah yang disebut dengan proses Islamisasi, kebalikan dari “akulturalisasi” (penyesuaian agama dengan kultur setempat).
Jadi Islam masuk ke Indonesia dan disebarkan melalui pendidikan pesantren dalam bentuk pandangan hidup, dan bukan sebagai gerakan politik seperti yang diasumsikan Prof. Sartono Kartodirdjo. Terbukti raja-raja di Jawa dan luar Jawa masuk Islam tanpa proses peperangan. Sebagai pandangan hidup Islam membawa konsep baru tentang Tuhan Yang Maha Esa, tentang manusia, tentang hidup, waktu, dunia dan akherat, bermasyarakat, keadilan, harta dan lain-lain.
Dengan pandangan hidup Islam masyarakat lalu mengembangkan semangat pembebasan dan perlawanan terhadap penjajah. Pemberontakan petani di Banten tahun 1888, atau perang masyarakat Aceh melawan Belanda tahun 1873, misalnya, tidak lepas dari peran kaum santri dan pesantren. Jadi Islam tidak dapat dipahami hanya sebagai gerakan politik, tapi sebagai suatu pandangan hidup yang memberi warna baru terhadap gerakan politik.
Peran pandangan hidup Islam terhadap bangkitnya bangsa Melayu dapat dilihat dari fenomena tersebarnya kultur Islam dan tersebarnya penggunaan bahasa Melayu sebagai alat untuk mengekspresikan karya sastra dan berbagai diskursus pemikiran kegamaan dan filsafat. Dengan merasuknya pandangan hidup Islam kedalam kultur Melayu, maka bahasa Melayu menjadi sangat kaya dengan kosa kata dan terminologi Islam. Ini juga sekaligus merupakan jembatan menuju lahirnya bahasa Melayu sebagai lingua franca.
Selain itu dengan gerakan hijrah ke pelosok-pelosok pedesaan, pesantren mengembangkan masyarakat Muslim yang solid, yang pada gilirannya berperan sebagai kubu pertahanan rakyat dalam melawan penjajah. Peran para kiai dalam melawan penjajah tidak perlu dipertanyakan lagi. Raffles sendiri dalam bukunya The History of Java mengakui bahaya para kiai terhadap kepentingan Belanda. Sebab, menurutnya, banyak sekali kiai yang aktif dalam berbagai pemberontakan.
Bahkan besarnya pengaruh kiai tidak hanya terbatas pada masyarakat awam, tapi juga menjangkau istana-istana. Kiai Hasan Besari, dari pesantren Tegalsari Ponorogo, misalnya berperan besar dalam meleraikan pemberontakan di Keraton Kartasura. Bukan hanya itu, pesantren dulu juga mampu melahirkan pujangga. Raden Ngabehi Ronggowarsito adalah santri Kiai Hasan Besari yang berhasil menjadi Pujangga Jawa terkenal.
Di zaman pergerakan pra-kemerdekaan, peran pesantren juga sangat menonjol, lagi-lagi melalui alumninya. HOS Cokroaminoto pendiri gerakan Syarikat Islam dan guru pertama Soekarno di Surabaya, adalah juga alumni pesantren. KH. Mas Mansur, KH.Hasyim Ash’ari, KH. Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, KH.Kahar Muzakkir, (untuk menyebut beberapa nama) adalah alumni pesantren yang menjadi tokoh masyarakat yang sangat berpengaruh. Di tengah masyarakat mereka adalah guru bangsa, tempat merujuk segala persoalan di masyarakat. Di tengah percaturan politik menjelang kemerdekaan Republik Indonesia peran mereka tidak diragukan lagi.
Ketika Jepang memobilisir tentara PETA (Pembela Tanah Air) guna melawan Belanda, para kiai dan santri mendirikan tentara Hizbullah. Di balik itu dalam pikiran mereka adalah kosep jihad melawan kezaliman, konsep ukhuwwah untuk membela sesama saudara seagama dan konsep kebebasan yang menolak segala bentuk penindasan. Itu semua tidak lepas dari pengaruh pandangan hidup Islam.
Sesudah kemerdekaan, alumni-alumni pesantren terus memainkan perannya dalam mengisi kemerdekaan. Moh. Rasyidi, alumni pondok Jamsaren adalah Menteri Agama RI pertama, Mohammad Natsir alumni pesantren Persis, menjadi Perdana Menteri, KH.Wahid Hasyim, alumni pondok Tebuireng, KH.Kahar Muzakkir dan lain-lain menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan; KH.Muslih Purwokerto dan KH. Imam Zarkasyi alumni Jamsaren menjadi anggota Dewan Perancang Nasional; KH. Idham Khalid menjadi wakil Perdana Menteri dan ketua MPRS. Singkatnya, di awal-awal kemerdekaan RI para kiai dan alumni pesantren berpatisipasi hampir di setiap lini perjuangan bangsa. Perlu dicatat bahwa jabatan-jabatan itu bukan diraih untuk tujuan politik sesaat, tapi untuk sarana membela dan memperjuangkan agama, negara dan bangsa.
Di era Orde Baru di tengah maraknya pembangunan fisik yang disertai dengan proses marginalisasi peran politik ummat Islam, kiai dan pesantren tetap memiliki perannya dalam membangun bangsa. Dampak pembangunan fisik yang tidak berangkat konsep character building adalah dekadensi moral, korupsi, tindak kekerasan dan lain-lain. Akibatnya pendidikan, khususnya sistem sekolah di kota-kota besar tidak lagi menjanjikan kesalehan moral dan sosial anak didik. Dalam kondisi seperti inilah pesantren muncul menjadi sebagai alternatif penting. Dengan jiwa ukhuwwah Islamiyah di pesantren tidak pernah terjadi “tawuran”; dan karena jiwa kemandirian di pesantren tidak sedikit dari santri drop out justru sukses sebagai pengusaha.
Ketika terjadi upaya convergensi ilmu pengetahuan agama dan umum di pesantren, medan distribusi alumni pesantren menjadi semakin luas. Penyeberangan santri ke perguruan tinggi umum menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Para santri ini kemudian mengembangkan kajian-kajian agama secara informal dan intensif yang melibatkan mahasiswa-mahasiswa yang tidak memilik background agama. Kini peran pesantren tidak lagi langsung dimainkan oleh alumninya, tapi oleh murid-murid alumninya. Pergerakan mahasiswa seperti HMI, PMII, IMM yang marak pada dekade 70-an dan 80-an, dan juga gerakan LDK, usrah-usrah dan intensifikasi aktifitas masjid kampus dan lain-lain tidak dapat dipisahkan dari peran dan kontribusi alumni-alumni pesantren.
Kini di zaman reformasi telah muncul sejumlah nama tokoh yang tidak lepas dari peran pendidikan pesantren, baik langsung maupun tidak langsung. Amien Rais, ketua MPR, Abdurrahman Wahid, pendiri PKB, Hidayat Nur Wahid, Presiden PKS, Hasyim Muzadi, Ketua PB NU, Nurcholis Madjid, Rektor Paramadina, adalah beberapa nama tokoh yang tidak lepas dari dunia pesantren. Hal ini tidak saja menunjukkan kualitas pendidikan pesantren dalam mencetak pemimpin dan tokoh-tokoh bangsa tapi membuktikan besarnya kepedulian santri terhadap problematika bangsa ini.
Jika kini beberapa gelintir alumni pesantren dituduh terlibat dalam berbagai aksi yang dianggap ‘terror’, maka sangat absurd jika kemudian peran dan potensi pesantren dalam membangun bangsa ini, baik di masa lalu maupu di masa depan, dinafikan. Semestinya kini tidak perlu lagi mempertanyakan apa peran dan fungsi pesantren dalam membangun negara ini, yang justru perlu dipertanyakan adalah apa yang telah dilakukan pemerintah dalam membangun pesantren dan apa yang belum. Hasil kalkulasi inilah hutang bangsa ini pada pesantren. Wallahu a’lam.
Penulis Peneliti di Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSIST)
Jejak Emas Para Ulama
Langganan:
Postingan (Atom)